• review buku Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam



    Nama: Muhammad Erta Dafik
    NIM: 16540019
    Mata Kuliah: Filsafat Islam
    Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Fauzan Naif, M.A.
    Buku: Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam.

    Ibn sina dan Ibn Rusydi bisa dikatakan sebagai filosof abadi dalam sejarah pemikiran islam karena yang pertama adalah filosof  islam dari timur dan yang kedua adalah filosof islam dari barat. Dalam jangka waktu yang cukup lama ternyata filsafat keduanya telah dikaji dengan mendalam di Eropa,
    sehingga melahirkan sejumlah murid ataupun pengikut yang fanatik dan yang membela pemikiran dan mazhabnya. Sepeti halnya filosof yang lain kedua nya juga merasa perlu memadukan antara filsafat Yunan dengan ajaran Islam yaitu akidah dan syariat seperti yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Ibn Sina mendapat gelar al-Syeikh al-Rais karena telah memadukan akidah Al-Qur’an dengan filsafat Yunani yang diketahuinya.adalah wajar jika kita dapati kecenderungan pemaduan ini pada hampir seluruh filosof islam di Timur dan di Barat karena adanya dorongan berbagai faktor antara lain:
    a.       Lebarnya jurang perbedaan antara Islam yang berdasarkan wahyu, tanpa mengecilkan peranan akal, dengan filsafat Aristoteles yang berdasarkan akal semata-mata.
    b.      Kecaman yang dilakukan oleh kebanyakan pemuka agama terhadap pembahasan akali (rasional) yang tidak terkait kesimpulanya pada ketentuan akidah yang telah diakui sebelumnya, sehingga mengakibatkan timbul penekanan dari para penguasa dan rakyat umum terhadap filosof.
    c.       Kegemaran para filosof itu sendiri untuk hidup tenang agar dapat berpikir, bebas dari berbagai petaka dan kekacauan.
    Dalam ajaran Islam, Allah adalah Pencipta segala seuatu. ; tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak-Nya, serta tidak ada sesuatu yang kekal tanpa pemeliharaan-Nya. Tuhan yang seperti ini, sifat atau fi’il-Nya, tidak mungkin akan sesuai dengan Tuhan Aristoteles yang disebut dengan “Penggerak Pertama”, dan juga dengan konsep “Yang Esa” (The One) seperti yang dikenal dalam New-Platonisme.
    Ibn Rusydi berpendapat bahwa Aristoteles adalah “pemikir agung” yang sangat mendalami masalah-masalah falsafi. Ia adalah seorang yang benar tidak pernah salah dari segi apapun. Ia adalah citra tertinggi dari akal insani, sehingga ia digelar sebagai sosok “filosof Ilahi” dan dia pula diantara orang-orang yang diisyaratkan Allah dalam fiman-Nya (Al-Baqarah (2):269).
    Tahafutul-Falasifah karya Al-Ghazali
    Tahafut itu artinya adalah pertentangan dalam bebagai pedapat dan pemikiran, tidak sesuai dan seirama sesamanya. Alsan al-Ghazali membuat kitab ini adalah untuk mengkritik para filosof yang seharunya mempunai pemikiran yang terbatas, yaitu terutama pada Aristoteles. Namun disisi lain karya al-Ghazali dibatah oleh Ibn Rusydi dengan cara mengeluarkan kitab berjudul Tahafdu al-Tahafud. Aristoteles, guu pertama, yang dalam zaman klasik dan juga zaman Al-Ghazali dipandang sebagai tonggak (hujjah) dalam filsafat, sehingga dikatakan, kebenarain itu adalah perkataanya. Sebab hakiki yang mendorong al-Ghazali menyerang Aristoteles adalah perkataanya bahwa alam ini kadim (tidak bermula). Dan ini adalah masalah pertama dalam tahafur yang kira-kira sepertiga halamanya telah habis dipakai untuk mendiskusikanya. Maka tidak heran jika serangan al-Ghazali terpusat pada dua tokoh besar yaitu Aristoteles dan Ibn Sina.
    Sirah Al-Ghazali
    Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali di gelar sebagai Hujjatu’l-Islam karena pembelaan mengagumkan terhadap agama ini, terutama dalam menyanggah aliran kebatinan dan para filosof. Ia sangat menonjol kemahiranya dalam ilmu kalam Asy’ari, sehingga merupakan seorang yang paling mahir bernalar dalam zamanya. Al-ghazali sangat produktif dalam menulis ilmunya sangat meluas, dan setiap ilmu yang ditulis yang ditulis adalah hujjah:bagus perananya, jelas gaya bahasanya, tegas kesimpulanya serta kuat dalilnya. Al-Ghazali juga hujjah dalam ilmu mantik yang diwarisi dari bangsa yunani. Sirah pemikiranya telah ditulis sendiri oleh al-Ghazali dalam kitabnya yang terkenal dan abadi yakni al-Munquidz mina’l-Dhalal di mana ia mamaparkan sejumlah ilmu yang mewarnai zamanya, dan berbagai mazhab dan sekte yang penting. Dalam kitab al-Munqidz itu, ia telah berjalan sampai ke akhir jalan dengan menghabiskan hidupnya dalam tasawwuf karena dapat mengantarnya kepada hakikat dan menyampaikan orang kepada keyakinan.
    Agama dan Filsafat
    Agama samawi didasarkan pada wahyu yang diturunkan kepada paran nabi dan rosul yang ditugaskan untuk menyampaikan risalah kepada manusia. Sendi akidah islam ada tiga; wujud kan keesaan Allah, mengutus para rosul dan kebangkitan ukhrawi. Akan tetapi al-Ghazali dalam kitab at-Tahafu, yang di dalamnya ia menyanggah filosof dan menunjukan kekacauan pendapat mereka, tidak menyinggung selain dua sendi saja:yang pertama dan kedua. Adapun filsafat, maka pegangan dasarnya adalah akal bukan wahyu. Terkadang ada kepercayaan kepada Tuhan dan ada juga yang tidak. Dalam kalangan filosof, ada yang beriman dan ada pula yang kufur yang hanya percaya kepada apa yang dapat diamati oleh indra serta dikuatkan oleh akal. Perbedaan agama dan filsafat adalah mendasar, baik metode maupun permasalahan. Metode agama jelas berbeda dengan metode filsafat. Telah berlaku kebisaan dalam kalangan umat islam memperbandingkan dua metode tersebut dengan mengatakan: medengar dan akal, dinukilkan dan dipikirkan, syariat dan hikmah dan sebagainya. Sebenarnya pertentangan antara pemuka agama, ahli hukum dan para teolog dengan para filosof sudah lama sejak umat islam mengenal filsafat. Jadi wajar jika gelombang serangan pada filosof semakin bertambah ketika Al-Farabi mencetuskan teori limpahan alam dari Tuhan sebagai sesuatu kemestian, seperti melimpahnya cahaya dari matahari, dan penafsiranya tentang kenabian berdasarkan kejiwaan, dalam arti sebagai hasil daya khayal dalam hubunganya dengan akal kesepuluh. Dan serangan itu semakin menjadi-jadi terhadap Ibn Sina yang lebih cenderung kepada mazhab paripatetic yang mengatakan alam ini kadim, lebih-lebih lagi ada pertanyaan bahwa Tuhan tidak tahu hal-hal yang kecil kecuali melalui ilmu kulli, hal-hal tersebut jelas menyalahi nas al-Qur’an. Juga para teolog tidak lebih baik dari keadaannya daripada filosof. Golongan mu’tazilah berpegang pada akal, menolak sama sekali berpegang pada ilham karena tidak akan diperoleh makrifat yang terpercaya yang dapat diuji keabsahanya dengan dlil-dalil akal serta pembuktian kebenaran dan keyakinan terutama karena mereka ini lebih mengutamakan akal daripada hadist. Pada waktu Abu Hasan memisahka diri dari gurunya, mengakui kaidah-kaidahnya, hubungan sebab akibat, lingkaran kausalitas dan hubungan kemestian antara dalil dengan permasalahan. Jika dalam kitab tahafut al-Ghazali menyerang para filosof, menyanggah manhaj akali yang mereka pakai dalam makrifah agamawi dan yang mereka akui sepenuhnya hanya itu saja, maka ia juga menyerang teolog: golongan Mu’tazilah dan Asy’ariyyah yang mendahuluinya. Sebagai gantinya, ia telah menggariskan suatu manhaj baru dalam teolog yang oleh Ibn Khaldun disebut  thariq al-muta’akhirin,yakni cara ilham para sufi, dengan meruntuhkan hubungan sebab-akibat, memandang Tuhan sebagai sebab dan pembuat hakiki. Alam dan manusia tidak dapat berbuat apapun karena kekuasaan hakiki ada ditangan Allah. Tapi filosof dan teolog berbeda, mereka tidak membatasi pada metode akali yang yang didasarkan pada logika:analogi dan argumen, malah juga mereka mempergunakan metode matematis dan eksperimentasi dalam ilmu-ilmu empiris formal,seperti ilmu fisika dan kedokteran.
    Kitab tahafut
    Logika itu bukanlah suatu ilmu yang terasing dalam kalangan umat islam, dan mereka menyebut ilmu penalaran (nazar) atau ilmu debat (jadal) atau pengetahuan akal (madarik al-‘uqul). Masalah yang dua puluh macam itu dapat dibagi sebagai berikut:
    1.      Hubungan Allah dengan alam. Hal ini meliputi empat masalah yang pertama:
    a.       Kadimnya alam,
    b.      Keabadian alam dan zaman,
    c.       Allah pencipta dan Pembuat alam, dan
    d.      Ketidak mampuan membuktikan adanya Pembuat alam.
    2.      Keesaan dan ketidakmampuan membuktikan-Nya (masalah kelima).
    3.      Sifat-sifat Ilahi (masalah keenam sampai dengan dua belas).
    4.      Mengetahui hal-hal kecil “juz’iyyat” (masalah ketiga belas).
    5.      Masalah falak dan alam (masalah keempat belas sampai dengan keenam belas).
    6.      Sebab akibat (masalah ketujuh belas).
    7.      Jiwa manusia (masalah kedelapan belas dan sembilan belas).
    8.      Kebangkitan jazad pada hari akhir (masalah kedua puluh).
    Kecuali masalah kekadiman alam dan hukum sebab-akibat maka sebagian besar masalah lain telah merupakan memiliki sejarah yang tidak dibicarakan lagi oleh ahli pikir. Pada bagian penutup, al-Ghazali mengkafirkan filosof dalam tiga masalah: kekadiman alam, Allah tidak mengetahui yang kecil-kecil dan pengingkaran kebangkitan dan pengumpulan jasad pada hari kiamat. Dalam masalah-masalah ini katanya adalah “jelas kekufuran yang tidak satu golongan pun dari umat Islam menganutnya”.
    Kekadiman alam
    Aristoteles menambahkan bahwa sebab-akibat itu berakhir dan berhenti pada sebab pertama. Hal ini karena di antara sifat-sifat alam penggerak alam adalah gerak, dan gerak itu perlu kepada penggerak; selain itu, gerak itu terjadi dalam zaman, dan zaman itu azali lagi abadi.jadi, ada korelasi yang tidak dapat dipisahkan antara tidak hal:materi, gerak dan zaman. Dari itu, kekadiman alam atau materi adalah akibat zaman yang azali. Tetapi, penggambaran masalah dalam bentuk ini menimbulkan paradoks antara yang berakhir dengan yang tidak berakhir. Zaman dan gerak tidak berakhir, dan dalam waktu yang sama keduanya adalah rentetan sebab-musabab yang berakhir. Emmanuel Kant (1724-1804) telah menjelaskan bahwa dua masalah ini membentuk suatu proposisi dan lawanya. Para teolog islam mempergunakan dalil baharunya alam ini sebagai bukti adanya Allah. Dalil mereka yang terkenal ialah: alam ini baharu, dan setiap yang baharu mesti ada pembaharu. Jadi, kadim; dalam hal ini hilanglah makna “menjadikan”. Oleh karena itu, perlu dibela akidah Islam dalam masalah ini dengan membatalkan teori kekadiman alam. Al-Ghazali telah menggariskan suatu metode khas, yakni dengan memulai menutarakan dalil-dalil para filosof sebagai penerjemah mazhabnya, lalu ia menjawab dalil-dalil tersebut satu demi satu serta menyanggahnya. Kesimpulan dalil-dalil tersebut ada empat :
    -Dalil tarjih dan penarjih
    -Dalil kedahuluan dalam zaman
    -Dalil kemungkinan
    -Dalil materi.
    Tahafut al-tahafut
    Dalam kitab Ibn Rusydi ingin menyelamatkan bahtera filsafat dari kekaraman setelah al-Ghazali melemparkan seperangkat tuduhan. Akan tetapi, pembelaan itu, seandainya memang benar dalam dirinya, ia telah tidak berguna dan tidak berhasil mengangkat kapal yang tenggelam itu. Hal ini karena beberapa sebab, yaitu:
    a.       Bahwa gaya bahasa Ibn Rusydi tidak begitu menggeliat sehingga dapat menimbulkan gairah akal khalayak ramai. Sebaliknya al-Ghazali memiliki bakat kelancaran menulis dengan bahasa yang indah yang memberikan pengertian yang gampang melalui pelbagai contoh yang jelas, terutama gaya mengolok dan mengejek lawan.
    b.      Ia tidak mampu mengangkat diri ke tingkat jajaran falasafi yang menguasai segi-segi persoalan, meringkaskan serta menyelami sampai ke lubuk masalah, seperti yang dilakukan al-Ghazali dalam membuat resume kekaburan atau kesamaran para filosof dalam dua puluh masalah itu.
    c.       Ibn Rusydi menyanggah setiap pemikiran al-Ghazali dalam cahaya logika yang berlaku dalam zaman itu, sehingga ia mengatakan bahwa pendapat al-Ghazali adalah sofistis atau dialektis atau oratorial, dan berupaya memberikan pendapat yang benar yang diyakini sesuai dengan logika bukti. Akan tetapi kebanyakan masalah yang ditampilkan al-Ghazali adalah masalah-masalah yang diaggap kontroversial yang tidak mungkin memberikan keyakinanm, masalah yang dapat benar.
    d.      Ibn Rusydi terlalu fanatik terhadap Aristoteles.

    Teori ma’rifah batin yang dikemukakan kepada kita oleh al-Ghazali lewat perumpamaan ini mengandung beberapa prinsip berikut:
    1.      Ma’rifah Kasyfiyyah adalah pantulan dari citra-citra anatara dua cermin yang berhadapan.
    2.      Hati manusia hanya siap sedia menerima citra dari Luh Mahfudz jika cerminya telah terasah mengilat melalui mujahadah[A1] .inilah unsur etis
    Apabila jiwa manusia yang mengilat cerminya memperhatikan sesuatu hal tertentu, maka cermin lain hanya memantulkan atasnya cintra-citra yang sesuai dengan apa yang diperhatikanya. Inilah yang disebut “arahan perhatian” dan merupakan bukti kemungkinan pertukaran

     [A1]
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    About

    Popular Posts