• Modernisasi dan kesiapanya, oleh Erta

    Modernisasi yang terus merambah ke segala elemen masyarakat tampaknya sudah mencapai taraf yang cukup memprihatinkan. Jelas saja, di zaman sekarang yang bisa dikatakan serba instan dan online penikmat teknologi modern tidak hanya kaula muda saja. Modrenisasi yang terus
    menjadi kegilaan zaman sekarang memang seperti mustahil untuk dihentikan. Tak hanya di media informasi saja, modernisasi juga merambah ke beberapa teknologi vital seperti teknologi angkutan, teknologi militer dan teknologi-teknologi yang lain. Dilansir dalam web KOMINFO, “menurut lembaga riset pasar e-Marketer, populasi netter Tanah Air mencapai 83,7 juta orang pada 2014. Pada tahun 2017, e-Marketer memperkirakan netter Indonesia bakal mencapai 112 juta orang, mengalahkan Jepang di peringkat  ke-5 yang pertumbuhan jumlah pengguna internetnya lebih lamban”. Analis senior e-Marketer juga mengatakan bahwa “Ponsel dan koneksi boardband mobile terjangkau mendorong pertumbuhan akses internet di negara-negara yang tidak bisa mengandalkan fixed line, entah karena infrastruktur atau biaya”. Perlu diketahui juga bahwa setiap tahunya pengguna internet di Indonesia terus mengalami ledakan. Pada tahun 2013 pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 72,8 juta jiwa, lalu mengalami kenaikan yang signifikan pada tahun 2014 yaitu dengan jumlah 83,7 juta pengguna. Seterusnya pada tahun 2015 juga mengalami kelipatan kenaikan yaitu berjumlah 93,4 juta pengguna, pada tahun 2016 kembali mengalami kenaikan kelipatan pengguna internet yaitu 102,8 juta pengguna, dan pada tahun 2017 pengguna internet sudah mencapai 112,6 juta pengguna. Angka yang cukup fantastis, mengingat Negara Indonesia adalah negara yangsedang berkembang. Diperkirakan pengguna internet pada tahun 2018 juga akan mengalami kenaikan yang sama pada setiap tahunya. Bisa dibayangkan dari penelitian awal pada tahun 2014 pengguna internet yang awalnya hanya 72,8 dan sekarang sudah di penghujung tahun 2017 yang artinya angka 112,6 pastinya sudah mengalami pembengkakan. Dalam kurun waktu tiga tahun pertumbuhan pengguna internet di Indonesia mencapai 39,8 juta, artinya setiap tahunya Indonesia mengalami onlineisasi sebesar 13,2 juta jiwa. Pengaruh internet terhadap peradaban dan perkembangan masyarakat kususnya di Indonesia tentunya juga memegang peran penting. Pastinya di setiap perkembangan teknologi mempunyai celah efek baik dan efek buru pada perkembangan masyarakat. Banyak orang yang memanfaatkan situasi genting untuk memberikan berita palsu atau bisa juga dikenal dengan sebutan hoax. Banyak sekali celah untuk para pembuat berita palsu atau hoax untuk masuk ke dalam opini masyarakat. Peneliti menggunakan jalur wawancara pada elemen masyarakat yang bisa dikatakan setiap hari memanfaatkan jejaring sosial. Dari beberapa responden yang peneliti wawancarai secara definitif mereka kurang memahami apa makna dari modernisasi dan media sosial itu sendiri. Namun pada dasarnya mereka tahu apa yang dimaksud dengan modernisasi. Seperti yang dikatakan oleh salah satu responden yang bisa dikatakan orang awam, Diah Lestari adalah seorang wanita yang bekerja disalah satu kedai donat di Demangan Baru mengatakan bahwa modernisasi adalah “perkembangan dan kemajuan, namun malah menjurus ke hal-hal yang negatif”. Entah apa yang ada pada pikiranya, namun menurut penelit pernyataan tersebut sangatlah bertolak belakang dengan makna definitif dari moderniasi. Dilansir dalam wikipedia makna asli dari modernisasi adalah “Modernisasi atau penganyaran dalam ilmu sosial merujuk pada sebuah bentuk transformasi dari keadaan yang kurang maju atau kurang berkembang ke arah yang lebih baik dengan harapan akan tercapai kehidupan masyarakat yang lebih maju, berkembang, dan makmur”. Responden kedua yaitu Ainul Rofik yang saat ini sedang mengenyam pendidikan di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta menyatakan bahwa makna definitif modernisasi adalah “sesuatu hal yang baru yang diterima oleh suatu kelompok tertentu atau beberapa hal yang masuk dari luar ke dalam”. Penulis berasumsi bahwa apa yang dikatakan oleh Rofik adalah hal yang diketahuinya secara umum saja. Padahal ada juga yang menolak untuk dimodernkan kususnya pada suku-suku yang ada di pedalaman. Responden selanjutnya yaitu Khoniq Nur Afiah, dia adalah santriwati yang mondok di salah satu pondok pesantren terkenal di Yogyakarta, Khoniq memberikan argumenya tentan modernisasi yaitu “kemajuan, pengaruh yang mempengaruhi tatanan sosial”. Analisis penulis terhadap pernyataan Khoniq tentang modernisasi sudah mendekati makna definitis asli dari modernisasin tersebut. Perlu diketahui juga bahwa dari tiga responden yang penulis wawancarai semua  responden mengaku bahwa akun media sosial yang pertama dioprasikan adalah facebook. Selama penulis berkecimung di dunia online, penulis juga sering mendapati bahwa ada berbagai macam karakter individu yang menggunakan media sosial facebook. Ada beberapa akun media sosial yang memang dibuat hanya untuk menyebar kebencian. Seperti halnya berita yang sedang panas dibicarakan mengenai politik dan agama yang terjadi di DKI Jakarta, namun pembicaraan tentang masalah ini terus saja meluas ke daerah-daerah lain. Provokasi demi provokasi dilontarkan oleh akun-akun fake dengan tujuan memecah belah antar umat. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa itu semua tak lepas dari tugas wartawan dan pembuat berita pada saat mereka menyajikan hasil dari kerjanya. Di kutip dari buku berjudul Rezim Media karya Iswadi Syahputra “indikator adequacy merupakan kewajiban lembaga penyiaran untuk menyajikan program well information bagi publik. Artinya, masyarakat harus memiliki informasi yang cukup dalam menentukan keputusan politiknya dalam demokrasi. Di sini media berperan untuk memberikan informasi kepada masyarakat untuk membantu mereka menentukan pilihanya. Media massa bertanggung jawab memberikan informasi tentang para kandidat dari sisi yang paling obyektif, sehingga akan menyehatkan persaingan politik di pemerintahan”. Peran penting untuk membentuk opini dan statmen masyarakat di setiap berita yang sedang hangat di bicarakan. Akan sangat disayangkan jika ada beberapa oknum yang membuat berita palsu demi keuntungan salah satu kelompok. Istilah kejar setoran menjadi judgement masyarakat jika sudah mengetahui bahwa ada salah satu oknum wartawan yang tidak patuh dan mengikuti kode etik jurnalistik. Sebagai wartawan atau pembuat berita, sudah seharusnya mematuhi kode etik jurnalistik. Di kutip dari wikipedia kode etik jurnalistik antara lain:
    1. Wartawan Indonesia bersifat independen, menghasilkan berita akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
    2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan jurnalistik.
    3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tidak bersalah.
    4. Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, finah,sadis dan cabul.
    5. Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
    6. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
    7. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas manapun keberadaanya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
    8.Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan mertabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
    9. Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
    10. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
    11. Wartawan Indonesia melayanin hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
    Perlunya edukasi terhadap masyarakat terhadap menyikapi dan memahami apakah itu berita asli dan palsu sangatlah penting, karena opini dan statmen masyarakat sangatlah mudah untuk di masuki hal-hal demikian. Istilah nggumunan bagi masyarakat Indonesia yang masih sangat layak untuk di gunakan sampai saat ini adalah tamparan keras untuk semua elemen masyarakat. Peran penting tak hanya dipegang oleh wartawan dan pembuat berita dengan hasil sajian dari beritanya, namun peran penting dari akadmisi dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana cara membedakan berita bohong yang mengandung ujaran kebencian dengan berita real atau sesuai fakta yang terjadi dilapangan. Peran penting juga dipegang oleh tokoh masyarakat maupun agama, karena kedua tokoh ini yang biasanya masih menjadi panutan masyarakat Indonesia yang masih bisa dikatakan nggumunan dengan fenomena dunia yang serba digital. Bisa dikatakan bahwa tokoh masarakat dan tokoh agama memegang peran vital dalam membentuk statmen masyarakat. Dari ceramah tokoh agama biasanya masyarakat bisa terbentuk tentang segala opini-opini yang menjurus pada hal baik maupun buruk. Namun faktanya perang cyber telah terjadi taraf yang sangat memprihatinkan, dengan judul berita yang diheboh-hebohkan. Umat beragama di Indonesia sekarang sudah dipetakkan menjadi dua sekte dengan istilah bani serbet dan kecebong. Di dalam sana banyak sekali oknum-oknum yang memanfaatkan krisis tolerasi saat ini sebagai ladang mencari rupiah dengan cara memposting berita-berita bohong. Efek dari berita bohong tersebut adalah opini dan statmen masyarakat terbentuk menjadi sebuah judgement bahwa salah satu kelompok yang berseterulah yang harus dibinasakan. Efenya jelas sangat merugikan salah satu kelompok yang sedang berseteru. Biasanya provokasi tersebut sangat ramai dikoarkan di media sosial facebook, mengingat bahwa media sosial yang sangat populer bagi masyarakat Indonesia masa kini adalah facebook. Provokasi tersebut bayak bentuknya yaitu meme atau gambar yang di edit serta sebuah tulisan yang entah darimana asalnya. Posting media tidak hanya pada wall akun, namun juga pada fanpage atau grup. Kesimpulanya adalah masyarakat Indonesia yang masih sangat mudah terombang ambing dalam dilema pemahaman politik dan agama yang terus dikoarkan mengklaim kelompok atau organisasi terkaitlah yang merasa paling benar.Solusi untuk mengakhiri ini semua dengan mengedukasi masyarakat agar tidak mudah terbangun opini yang belum jelas kebenaranya, seperti menanamkan perilaku tidak hanya mempercayai ketika membaca satu berita. Yang seharusnya dilakukan adalah mencari informasi atau berita pada portal lain yang lebih obyektif. Pembuatan UU ITE sepertinya akan lama untuk menghentikan perang cyber yang sudah mencapai taraf memprihatinkan ini. Semua akan membaik jika dimulai dari diri sendiri dan orang-orang disekitar kita juga menjadi smart netter. Kita sendiri juga harus peka terhadap informasi yang belum teruji kebenaranya. Terlepas dari semua itu, hal sepele yang sangat berbahaya ketika dilakukan adalah kita terlalu terlena dengan semua teknologi yang terus berkembang. Dari responden peneliti semua mengatakan bahwa ketika sudah berhadapan dengan gadgetnya maka mereka akan lupa dengan waktu dan bahkan dengan urusan pribadi dengan Tuhan. Overall, apakah masyarakat indonesia sudah siap dengan zaman yang terus mendorong untuk memodernkan ketradisionalan?
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    About

    Popular Posts