• Secercah cerita tentang pengalaman berRelius, oleh Erta

    Bismillah, perkenalkan nama saya Muhammad Erta Dafik. Saya anak pertama dari dua bersaudara. Asal saya dari kebumen namun saya lahir ditanah Jakarta karena
    ayah dan ibu saya dulu adalah anak rantau yang menggantungkan nasibnya di Ibu Kota yang keras itu. Kehidupan keras di Ibu Kota memaksa orang tua saya untuk pindah ke kampung halaman yang menurutnya lebih tenang dan lebih sesuai untuk membesarkan saya kecil. Saya mengenal Al-Qur’an dan bisa dikatakan dunia religius sekitar umur tiga tahun. Waktu menjelang saya mengaji untuk pertama kalinya, saya meminta di buatkan sebuah peralatan pancing tradisional pada ayah saya. Almarhum ayah saya adalah seorang wirausaha dan hanya bekerja dirumah, makanya ayah saya punya waktu lebih untuk anak-anaknya. Ayah saya menemani saya muter-muter mencari kail pacing dan senar pancing yang saat itu cukup susah untuk didapatkan di daerah saya. Setelah barang yang dicari didapatkan kami pulang kerumah dan langsung mencari sepotong bambu dan sendal jepit bekas. Bambu dihaluskan dan disisahkan kira-kira sebesar jari telunjuk dan dibuat semakin meruncing ke ujung batang. Lalu senar diukur kira-kira saru setengah meter dan diikat pada bambu yang tadi sudah dibentuk. Sendal dipotong sebesar jempol tangan, lalu senar dimasukan ke jarum layaknya menjahit dan ditusukkan ke potongan sandal tadi. Potongan sandal tersebut berguna untuk pengapung dan juga sebagai indikator ketika umpan dimakan oleh ikan atau yang lain. Kebahagiaan anak seusia saya saat itu memang sederhana dan sangat mudah didapatkan. Walhasil pancing tradisional itu pun siap digunakan. Ternyata bukan tanpa maksud ayah saya membuatkan saya pancing tersebut. Ternyata ada udang dibalik batu, artinya saat ayah saya memberikan pancing itu ternyata beliau juga berpesan mulai hari itu saya harus mulai mengaji di “langgar”. Langgar adalah sebutan tradisional kami masyarakat desa yang artinya tempat untuk mengaji. Ayah saya tersenyum simpul penuh misteri antara saya harus menyetujui kemauanya dan juga tersenyum karena telah menyelesaikan pembuatan pancing. Setelah saya mengiyakan apa yang dimaksud oleh bapak saya, saya langsung mencari spot memancing yang biasanya nyaman. Saat itu wilayah kami tengah mengalami musim penghujan dengan intensitas hujan bisa dikatakan besar. Ayah saya mewanti-wanti agar pulang tidak lebih dari pukul 15:00 karena saya harus mandi lebih awal untuk segera mengaji. Saya pulang tepat waktu, mandi dan siap-siap berangkat ke langgar. Yang lucu saat pertama kalinya saya hendak belajar mengaji adalah saya berangkat hanya menggunakan clana pendek selutut, kaos dan peci. Lalu di tengah perjalanan saya menuju langgar saya diperingatkan jika akan berangkat belajar mengaji harus menggunakan sarung atau celana panjang, pakaian atas pun harus menggunakan baju koko atau baju berkerah. Dengan wajah merah malu dan perasaan kecewa saya kembali ke rumah. Dari rumah saya berangkat dengan penuh semangat bahkan dengancara berlari, namun ditengah jalan saya seperti mendapat tamparan keras yang memaksa saya untuk kembali ke rumah. Sesampainya dirumah saya langsung mengadu ke ibu saya dan mengatakan bahwa dalam mengaji harus memakai sarung atau celana panjang dengan atasan baju koko atau baju berkerah. Awalnya saya enggan kembali berjalan menuju langgar tersebut karena merasa malu. Namun ibu saya terus memotivasi dan memberikan wejangan pada saya kecil agar kembali berjalan menuju langgar. Sesampainya di langgar hari masih menjelang maghrib dan teman-teman saya masih bermain dihalaman langgar. Ada yang bermain cak-cakan, lompat tali dan bahkan petak umpet. Setalah dikira sudah hampir mendekati waktu sholat maghrib anak-anak mulai berangsur berhenti bermain. Dengan badan yang terasa gerah dan sedikit berkeringat saya dan teman-teman mengambil air dan membasuh kaki,tangan serta muka kami. Saat itu kami belum mengerti cara dan do’a berwudhu kecuali yang sudah mengaji turutan dan mushaf Al-Qur’an. Setelah itu kami melaksanakan sholat maghrib berjamaah. Jenjang mengaji di tempat saya yaitu dari hafalan surah-surah pendek, turutan atau yang biasa disebut iqro’ dan selanjutnya ke mushaf Al-Qur’an. Yang unik dari langgar saya mengaji adalah jenjang awal hafalan surah-surah pendek pasti diawali dengan mengucapdua kalimat syahadat dan dituntun oleh gurunya. Jenjang turutan biasanya akan dibantu oleh senior-senior yang sudah mengaji mushaf Al-Qur’an dengan kriteria yang ditentukan oleh guru yang mengajar mengaji Al-Qur’an yaitu yang bernama mbah Maksudi atau biasa dikenal dengan sebutan mbah Mak. Saat itu guru yang memegang hafalan bernama mbah Mus, beliau seorang wanita paruh baya yang sudah puluhan tahun mengajar mengaji anak-anak kampung saya dengan penuh keikhlasan tanpa meminta bayaran sedikitpun. Saya dituntun mengucapkan dua kalimat syahadat layaknya anak-anak lain yang baru pertama mengaji. Keesokan harinya saya kembali dituntun untuk memfasihkan bacaan dua kalimat syahadat. Ada yang unik lagi di langgar tempat saya mengaji ini, yaitu terletak pada jenjang pertama belajar mengaji. Pada jenjang pertama belajar mengaji, kami akan diperintahkan untuk melantunkan dua kalimat syahadat setelah diaggap lumayan dan bisa melanjutkan ke step selanjutnya maka akan disuruh melantunkan niat-niat sholat wajib. Setelah itu kami diajarkan do’a iftitah, alfatihah, do’a rukuk, dan semua do’a yang dilafadzkan ketika melakukan sholat. Barulah ketika sudah bisa dihafalkan semua akan diajari surah-surah pendek. Satu lagi keunikan yang ada di langgar tempat saya belajar mengaji yaitu dari kira-kira 10 anak yang sedang mencapai jenjang pertama masing-masing anak akan dihafal oleh guru ngajinya anak ini telah sampai mana menghafalnya. Mungkin perkara ini cukup dianggap sepele bagi banyak orang, namun dimasa sekarang saya baru menyadari bahwa orang yang hidupnya senantiasa dihiasi dengan Al-Qur’an akan dikuatkan ingatanya. Jenjang selanjutnya dalam mengaji saya tidak menemukan kesulitan berarti karena sejak dini sudah diajarkan bacaan yang sangat kusus untuk diucapakan seperti shodh, dho’, qhof, shin, tsa dan ‘ain. Sampai pada penghujung kelas enam sekolah dasar akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan belajar agama pada jenjang yang lebih serius yaitu di pondok pesantren. Termpat perlabuhan saya yaitu pondok pesantren Ali Maksum krapyak Yogyakarta. Walaupun saya sudah lulus dari pondok tersebut bukan berarti saya lepas dari ikatan pondok pesanten tersebut. Sampai sekarang saya masih terhubung dengan pondok pesantren Ali Maksum dan masih sering mengunjungi teman seangkatan yang menjadi pengurus disana.
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    About

    Popular Posts